Asal Usul Gunung Merbuk Di Bali

Keterangan Foto : Asal Usul Gunung Merbuk Di Bali
banner 120x600

Pada zaman dahulu, di tanah Jembrana, hiduplah seorang raja bernama Sawe Rangsasa. Ia adalah penguasa yang kuat dan disegani, tetapi juga dikenal sebagai raja yang keras hati dan penuh ambisi. Di bawah kepemimpinannya, kerajaan Jembrana semakin luas, tetapi ia masih belum juga pernah merasa puas. Kesombongannya juga menganggap dirinya adalah yang terkuat di jagat raya ini.

Sementara itu, di perbatasan Jembrana dan Buleleng, hiduplah seorang pertapa sakti bernama Pertapa Merbuk. Ia memiliki aroma tubuh yang harum, dan memilih mengasingkan diri di hutan lebat, menghabiskan waktunya bermeditasi dan menjaga keseimbangan alam. Suaranya yang merdu, seperti kicauan burung merbuk, membuat masyarakat sekitar memanggilnya dengan nama itu. Banyak orang datang kepadanya untuk mencari petunjuk dan pencerahan, termasuk para pengikut setia Raja Sawe Rangsasa yang diam-diam mulai meragukan kebijaksanaan pemimpin mereka.

Kabar tentang Pertapa Merbuk akhirnya sampai ke telinga Raja Sawe Rangsasa. Ia mendengar bahwa sang pertapa memiliki ilmu yang luar biasa dan konon bisa meramal masa depan. Sang raja, yang mulai merasa tak tergoyahkan, ingin membuktikan apakah dirinya memang ditakdirkan sebagai penguasa sejati.

“Jika dia memang sakti, aku ingin mendengarnya langsung darinya,” ujar Raja Sawe Rangsasa kepada para panglimanya. “Panggil dia ke istana, biar aku sendiri yang mengujinya.”

Beberapa utusan dikirim ke tempat Pertapa Merbuk, tetapi sang Pertapa menolak datang.

“Aku bukan orang yang layak menghadap raja,” katanya dengan lembut. “Jika raja ingin jawaban, ia bisa datang sendiri dan mendengar suara alam.”

Mendengar jawaban itu, Raja Sawe Rangsasa marah, dan merasa tersinggung.

“Berani sekali dia menolakku!” geramnya. Dengan amarah yang membara, ia memutuskan untuk menemui sendiri sang Pertapa itu.

Setibanya di tempat Pertapa Merbuk, sang raja menatap pertapa tua itu dengan penuh rasa ingin tahu.

“Aku ingin kau meramalkan masa depanku,” katanya angkuh. “Apakah aku akan menjadi penguasa terbesar di tanah ini?”

Pertapa Merbuk menutup matanya sejenak, mendengar bisikan angin dan suara burung burung jalak putih di sekitarnya. Kemudian, dengan suara tenang ia berkata:

“Wahai raja, kekuasaan yang didasarkan pada keserakahan dan amarah tidak akan bertahan lama. Jika kau terus berjalan di jalur ini, kehancuran menantimu.”

Raja Sawe Rangsasa tertawa terbahak-bahak.

“Kau hanya seorang pertapa tua! Apa yang kau tahu tentang kekuasaan?”

Pertapa Merbuk menghela napas panjang.

“Aku hanya menyampaikan apa yang telah digariskan alam. Jika kau menolak mendengar, maka bersiaplah menerima akibatnya.”

Sang raja tidak menghiraukan peringatan itu. Ia pulang ke istana dengan keyakinan bahwa dirinya tetap tak terkalahkan. Namun, sejak hari itu, hal-hal aneh mulai terjadi di kerajaannya. Panen gagal, sungai-sungai meluap, dan rakyat mulai gelisah. Para penasihatnya mengingatkannya untuk merendahkan hati dan mendengarkan nasihat sang Pertapa, tetapi Raja Sawe Rangsasa tetap keras kepala.

Hingga suatu saat, datanglah Dang Hyang Nirartha ke wilayah Jembrana. Saat melintasi perbatasan kerajaan, ia dicegat oleh para pengawal Raja Sawe Rangsasa yang diperintahkan untuk memastikan semua orang tunduk kepada sang raja.

“Siapa kau, orang tua?” tanya seorang prajurit dengan kasar.

“Aku hanyalah seorang pengembara yang sedang mengemban tugas suci,” jawab Dang Hyang Nirartha dengan tenang.

“Kalau begitu, sujudlah di hadapan Raja Sawe Rangsasa!” perintah pengawal itu.

Dang Hyang Nirartha menggeleng pelan. “Aku hanya menyembah Sang Hyang Widhi. Jika aku menyembah manusia, maka kerajaannya akan runtuh.”

Para prajurit marah mendengar jawaban itu.

“Berani sekali kau menghina raja kami! Jika kau tidak sujud, kami akan membunuhmu”, ancam para prajurit raja Sawe Rangsasa.

Dang Hyang Nirartha hanya tersenyum dan berkata, “Jika itu takdir, maka biarlah terjadi.”

Namun, sebelum pedang para prajurit menyentuhnya, sebuah gemuruh dahsyat mengguncang bumi! Istana Raja Sawe Rangsasa tiba-tiba hancur berantakan, seolah-olah tanah menolak keberadaannya.

Mendengar kabar kehancuran istana, Raja Sawe Rangsasa diliputi ketakutan. Ia pun melarikan diri ke utara bersama rakyat dan pengikutnya yang masih setia, menembus hutan belantara dan rawa-rawa.

Tempat pelariannya pada belantara yang sangat luas (atau Jimbar) dan hutan (atau Wana) kemudian dikenal sebagai Jimbar Wana, yang diyakini menjadi asal mula nama Kabupaten Jembrana.

Dalam perjalanan, banyak pengikutnya tersesat dan terpisah dari rombongan hingga akhirnya membuka pemukiman baru.

Dalam keputusasaan, Raja Sawe Rangsasa kembali bergegas menuju tempat Pertapa Merbuk.

“Aku telah salah! Tolong selamatkan kerajaanku!” serunya dengan penuh penyesalan.

Pertapa Merbuk menatapnya dengan penuh belas kasih. “Penyesalan pastinya selalu datang terlambat, wahai raja. Apa yang terjadi adalah akibat dari pilihanmu sendiri. Aku tidak bisa membantumu, jalanilah takdirmu. Aku akan membatasi perjalanan kalian, dengan memperluas wilayah ini”.

Sang Pertapa lalu menghilang, berubah wujud menjadi burung perkutut. Bukit tempat pertemuan terakhir antara raja dengan sang Pertapa itu, kemudian perlahan semakin meluas dan memanjang, serta menjulang lebih tinggi, berubah menjadi gunung berapi. Burung-burung Jalak Putih, dan Tuwu Tuwu atau burung Kowel, yang selama ini menemani sang Pertapa beterbangan, seakan mengabarkan kisah ini kepada alam.

Namun, masyarakat sekitar percaya bahwa arwah Raja Sawe Rangsasa masih terperangkap di dalam gunung, sementara suara Burung-burung Jalak Putih, Tuwu Tuwu atau burung Kowel, dan burung Perkutut berwarna hitam legam, dengan kalung leher menyambung, yang sering terdengar di sana diyakini sebagai nyanyian Sang Pertapa Merbuk, yang terus mengingatkan bahwa kekuasaan tanpa kebijaksanaan hanya akan membawa kehancuran. Dalam kamus bahasa Indonesia, Merbuk sendiri berarti burung Perkutut, atau aroma wangi alias harum.

Sejak saat itu, tempat itu dikenal sebagai Gunung Merbuk, yang merupakan pengingat bahwa kesombongan dan keangkuhan hanya akan membawa malapetaka, bahkan kehancuran. Gunung itu menjadi saksi bisu jatuhnya seorang raja yang menolak kebijaksanaan, tetapi juga menjadi simbol kebangkitan Jembrana.

Dari kehancuran itu, rakyat yang tersisa mulai membangun kehidupan baru dengan lebih bijaksana, menghargai keseimbangan alam, dan menanamkan kebajikan dalam kepemimpinan. Gunung Merbuk pun bukan sekedar nama, tetapi warisan yang harus dijaga dan dilestarikan oleh generasi selanjutnya, sebuah pengingat bahwa kehancuran bisa menjadi awal bagi perjalanan menuju kesejahteraan dan kejayaan yang sejati.

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *