Jembrana, rallmedia – Di kantor Bendesa Adat Berawantangi, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana Provinsi Bali, telah digelar kegiatan Focus Group Discussioan (FGD) dengan pembahasan Strategi Pemberdayaan Baga Kertha Desa Untuk Menjadi Para Legal Dalam Rangka Menyelesaikan Perkara Berdasarkan Restorative Justice Demi Kesejahteraan Masyarakat, pada Sabtu (20/7/2024).
Kegiatan FGD ini dihadiri oleh
Bendesa Adat Berawantangi I Ketut Wisnu Wardana, para Pemangku atau Tokoh Agama (Toga), para Pemucuk Desa Adat atau Tokoh Masyarakat (Tomas), para Yowana, Kelian Adat, dan seterusnya. Krama Desa Adat Berawantangi sangat menyambut astusias kegiatan tersebut.
Dalam kegiatan tersebut menghadirkan para narasumber dari tim pengabdi diantaranya Dr. I Ketut Widia, SH.,MH sebagai ketua tim peneliti dari Universitas Warmadewa, Dr. I Made Arjaya, SH.,MH sebagai anggota tim peneliti dari Universitas Warmadewa, Prof. Dr. I Dewa Komang Tantra, Dip., App.,M.Se.,Ph.D sebagai anggota tim peneliti dari Universitas Warmadewa, serta beberapa mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Warmadewa, Luh Made Pramitha Sukmayanti, dan I Wayan Ari Manggara Yogha.
Adapun tujuan pembahasan ini untuk mengurangi isi penjara di Indonesia terlalu penuh. Pada akhir 2023 jumlah narapidana di Indonesia mencapai 280 ribu orang. Biaya makmin rata – rata perorang perhari Rp. 100.000 × 280.000 orang = Rp. 28.000.000.000 (28 Milyar). Biaya pemeliharaan penjahat (narapidana) pertahun adalah 365 hari × Rp.28.000.000.000 = Rp. 10.220.000.000.000., (10 Trilyun 220 Milyar).
Doktor I Ketut Widia SH MH selaku Ketua Tim Peneliti mengatakan, kegiatan FGD, digelar dengan nuansa Pengabdian. Adapun gagasan besar dari pengabdian ini adalah, memberikan pencerahan, pengetahuan, pemahaman, dan ketrampilan bagi Baga atau pengurus Lembaga Kerta Desa Adat Berawantangi agar mampu menganalisa permasalahan, konflIk, dan menyelesaikan secara restorative justice. Kalau dalam perkara pidana agar dapat diselesaikan secara musyawarah dengan melibatkan pelaku dan korban.
“Dalam hal ini yang dimaksud dengan restorative justice adalah, menyelesaikan konflik dengan melibatkan para pihak, yang berkonflik, atau korban dan terduga pelaku kejahatan, juga keluarga, dan para tetua adat setempat”, jelasnya.
Sementara itu, Doktor I Made Arjaya SH MH mengatakan, berbicara tentang restorative justice, sesungguhnya bukanlah hal yang baru di masyarakat kita. Terminolagi ini dapat dipadankan artinya dengan menyelesaikan masalah, secara musyawarah untuk mencapai mufakat.
“Dalam hal bermusyawarah untuk pmencapai mufakat, sesungguhnya adalah “jiwa bangsa Indonesia” yang diekspresikan di dalam Dasar Negara Pancasila, khususnya sila ke empat”, ucapnya.
Adapun beberapa permasalahan yang sering terjadi di masyarakat, hingga meniadi pokok-pokok pembahasan, diantaranya permasalahan pertama yang ingin disosialisasikan kepada mitra pengabdian adalah, pengetahuan dan pemahaman tentang Paralegal dan Restorative Justice.
Permasalahan yang kedua adalah, teknik memediasi perkara berdasarkan restorative justice.
Memahami dampak kedamaian, keadilan, dan ketertiban terhadap kesejahteraan masyarakat.
Berikut, solusi yang ditawarkan, diantaranya memberikan edukasi pada krama kerta desa dan pecalang, khususnya Baga krama pecalang, Baga kreta desa.
Bendesa Adat Berawantangi, I Ketut Wisnu Wardana, menyambut baik pelaksanaan FGD tersebut.
“Kami sangat mengapresiasi kegiatan ini. Kegiatan ini sangat luar biada, ini sangat penting, dan dapat dijadikan sebagai acuan dalam membuat perarem-perarem, terlebih sebagai pembelajaran dalam rangka memediasi permasalah-permasalah warga”, ungkapnya.
Bendesa Adat Berawantangi berharap, dengan pelaksanaan FGD ini, masyarakat dapat memahami pengertian paralegal, fungsi dan tugas paralegal, maka dilakukan pelatihan simulasi mengatasi masalah, serta mempublikasi fungsi dan tugas pecalang.
Kegiatan FGD tampak diikuti dengan seksama, terlihat dari banyaknya peserta yang memgajukan pertanyaan. (*)